dalamUU Nomor. 31 Tahun 1999 diatur tentang korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal ini sesuai dengan perkembangan akhir-akhir ini, dimana kejahatan korporasi merupakan suatu gejala baru abad ke-20. Korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dikenal oleh KUHP, hal ini iStockOleh Mahmud Kusuma, Pada kuliah sebelumnya berjudul Azas Hukum Pidana Menurut Tempat’, kita telah mengerti mengenai azas-azas hukum pidana menurut tempat, maka untuk kuliah selanjutnya kita mendalami azas hukum pidana menurut waktu. Sumber utama tentang berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, tersimpul di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Antara lain pengertian yang dapat diberikan kepada Pasal 1 ayat 1 KUHP adalah[1] Mempunyai makna “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu. Sifat umum adagium di dalam ilmu hukum pidana; Mempunyai makna “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut” Mr. Jonkers 1946 37; Mempunyai makna “lex temporis delicti”, yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu Mr. Suringa 1968 305. Pada mulanya timbul pikiran klasik melalui saluran politik untuk melindungi kepentingan “rakyat banyak” dari kekuasaan sewenang-wenang dari Raja-raja yang absolut, dengan cara membatasi kekuasaan Raja untuk menuntut dan menjatuhkan putusan pengadilan yang bertentangan dengan azas-azas yang diakui sesuai dengan hak asasi manusia.[2] Perlindungan kepentingan rakyat di negara Barat itu ternyata lebih menitikberatkan kepada kepentingan individu yang terkandung dalam deklarasi Magna Charta 1215 dan Habeas Corpus Act 1679. Di Eropa, terutama Prancis, dianggap tokoh yang pertama adalah Montesquieu menyatakan perlunya perlindungan kemerdekaan dan pribadi individu terhadap suatu tuntutan serta tindakan hakim yang sewenang-wenang. Seorang sarjana Jerman bernama A. Von Feurbach merumuskan adagium dalam bahasa Latin “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali” yang terkandung dalam buku karangan “Lehrbuch des peinlichen Rechts” 1801.[3] Sepanjang sejarah perkembangan hukum pidana dengan segala faktor-faktor yang mempengaruhi, kiranya dapat disusun dalam empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh azas legalitas[4] Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum rechtszekerheid en rechtsgelijkheid terhadap penguasa agar tidak sewenang-wenang. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu rumusan peraturan yang memuat tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dua unsur yang sama pentingnya, yaitu bahwa yang diatur oleh hukum pidana tidak hanya memuat ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi harus juga diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum lebih utama kepada negara dan masyarakat daripada kepentingan individu, dengan pokok pikiran tertuju kepada “a crime is a socially dangerous act of commission of ommission as prescribed in criminal law”. Berlakunya azas legalitas dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP sebenarnya tidaklah mutlak, dengan alasan bahwa KUHP bukan merupakan undang-undang dasar melainkan sekedar kodifikasi undang-undang hukum pidana, dan selain itu derajat undang-undang selalu dimungkinkan dapat diubah oleh pembentuk undang-undang DPR bersama Pemerintah jika dipandang perlu. Lain halnya apabila asas legalitas itu sekaligus ada perumusannya di dalam Undang-undang Dasar yang tidak secara mudah untuk mengadakan perubahannya.[5] Pembentuk undang-undang telah menetapkan pengecualiannya Pasal 1 ayat 1 KUHP di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP yang mempunyai dua ketentuan pokok, yaitu a. Sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan; b. Dipakai aturan yang meringankan/menguntungkan. [6]_________________________________ 1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal. 68. Kurunwaktu pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan RI ( 1872-1945 ), terbagi dalam 4 periode yaitu : Periode kerja paksa di Indonesia (1872-1905) . Pada periode ini terdapat 2 jenis hukum pidana, khusus untuk orang Indonesia dan Eropa.
Ada dua syarat agar berlakunya suatu hukum pidana yakni berdasarkan tempat dan waktu. Berlakunya hukum pidana ini telah diatur dalam Buku Pertama, Bab I Pasal 1-9 KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP tersebut mengatur mengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu, sedangkan dalam Pasal 2-9 KUHP mengatur hukum pidana menurut tempat. Untuk kali ini saya hanya akan membahas mengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu. Seperti yang saya katakan tadi bahwa Pasal 1 KUHP mengatur mengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu. Pasal 1 KUHP tersebut yakni "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ada". Mengenai berlakunya hukum pidana menurutu waktu sangatlah penting karena untuk menentukan pada saat kapan terjadinya suatu tindak pidana. Dalam Pasal 1 KUHP tersebut memiliki banyak makna, salah satunya yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo yaitu 1. "Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali" yang artinya Tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam terlebih dahulu. Hal ini biasanya disebut sebagai asas legalitas. Berlakunya asas legalitas tersebut agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa. 2. Memiliki makna "Lex temporis delicti" yang artinya undang-undang berlaku terhadap perbuatan pidana yang terjadi saat itu. Maksud dari Lex temporis delicti adalah bahwa seseorang harus diadili berdasarkan aturan yang berlaku saat perbuatan itu dilakukan. Namun hal ini boleh dikesampingkan apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan dan sebelum perkara diadili. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 1 ayat 2 KUHP yakni " Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah saat melakukan perbuatan, maka digunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa". Contohnya adalah mengenai pembunuhan yang hukuman maksimalnya 15 tahun Pasal 338 KUHP . Jika ada seseorang yang melakukan pembunuhan pada tanggal 7 Januari 2018 namun masih dalam pemeriksaan awal, lalu pada tanggal 10 Februari 2018 aturan mengenai pembunuhan diubah yaitu maksimum 15 tahun menjadi maksimum 20 tahun, maka berdasarkan Pasal 1 ayat 2 KUHP tersebut, hakim harus menggunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa yakni aturan lama, dan juga sebaliknya apabila aturan yang diubah mengalami penurunan ancaman hukuman maka aturan yang dipakai adalah aturan yang baru. 3. Undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut non retro aktif . Maksud tidak berlaku surut adalah jika seseorang melakukan perbuatan mencuri namun tindakan pencurian belum diatur dalam undang-undang hukum pidana, maka seseorang tersebut tidak boleh di pidana dan apabila suatu saat pencurian telah diatur dalam undang-undang hukum pidana, maka orang yang mencuri tadi tetap tidak boleh dihukum karena ketika ia melakukan pencurian, belum ada undang-undang yang mengaturnya. Dari ketiga hal diatas dapat kita simpulkan bahwa suatu perbuatan dapat dipidana apabila telah ada hukum yang mengaturnya yang sudah pasti hukum tertulis yang mengaturnya. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan hukum diluar yang tertulis menjadi tidak berlaku. Dalam Pasal 1 ayat 3 dan ayat 4 konsep KUHP baru telah memberikan dasar berlakunya hukum pidana yang hidup di masyarakat walaupun tidak diatur dalam undang-undang sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat. Asas Legalitas Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dikenal dengan asas legalitas. Menurut Machteld Boot dalam asas legalitas ini terdapat konsekuensi akibat berlakunya asas tersebut yang akan saya simpulkan agar dapat mudah dipahami yakni 1. Tidak boleh berlaku surutnya ketentuan hukum pidana karena asas legalitas mengandung arti tiada suatu perbuatan dapat dipidana apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya. 2. Semua peraturan harus tertulis karena tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang tertulis. 3. Mengenai prinsip tidak ada perbuatan pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Akibatnya rumusan perbuatan pidana itu harus jelas agar tidak terjadi mutitafsir dan menghilangkan kepastian hukum. Menurut Von Feuerbach, asas legalitas berfungsi untuk menjamin kepastian hukum, dan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat maka aturan tersebut harus berfungsi menakut-nakuti masyarakat agar tidak berbuat kejahatan karena telah ada ancaman hukuman yang dibuat terlebih dahulu. Analogi Analogi merupakan suatu interpretasi. Interpretasi sendiri merupakan pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu. Menurut Machteld Boot setiap norma membutuhkan interpretasi. Begitu juga menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum tidak dapat berjalan tanpa adanya penafsiran. Namun bolehkan analogi diterapkan karena hal tersebut tentu bertolak belakang dengan asas legalitas ? Ada beberapa negara di Eropa yang menolak penggunaan analogi dan ada juga yang memperbolehkan penerapan analogi seperti di Inggris dan Cina. Menurut Sudarto, analogi artinya memperluas berlakunya suatu peraturan dengan mengabstraksikannya menjadi aturan hukum yang menjadi dasar dari peraturan itu dan kemudian menerapkannya kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur dalam undang-undang. Dalam halnya di pengadilan, sulit untuk mengatakan bahwa hakim tidak menggunakan analogi. Analogi sangat diperlukan untuk menafsirkan hukum. Contohnya adalah mengenai pencurian. Pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP dan unsur objektif pencuriannya adalah suatu benda berwujud. Dulu benda tidak berwujud belum dimasukkan sebagai tambahan dalam aturan mengenai pencurian. Setelah adanya penemuan listrik, terjadi perubahan sosial. Tenaga listrik dianggap memiliki nilai ekonomis dan perlu dilindungi. Bayangkan saja pencurian listrik dilakukan namun pasal pencurian unsur objektifnya adalah benda berwujud sedangkan listrik bukan merupakan benda berwujud. Apakah si pencuri tetap tidak dihukum padahal jelas-jelas telah melakukan pencurian tenaga listrik hanya karena tidak diatur pencurian benda tidak berwujud ? Disinilah sesungguhnya diperlukan suatu analogi. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan analogi sangat diperlukan untuk memperlengkap suatu aturan. Penggunaan analogi cocok dengan keadaan masyarakat yang terus berkembang. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum pidana yakni untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Nah itulah yang dapat saya sampaikan mengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu, apabila pembaca mempunyai pertanyaan atau hal yang tidak dimengerti dapat dibagikan di kolom komentar. Terima kasih Referensi Mohammad Ekaputra. 2017. Dasar-Dasar Hukum Pidana edisi 2. Medan USU Press Kitab Undang-undang Hukum Pidana
ruanglingkup berlakunya ruang lingkup berlakunya hukum pidana hukum pidana 1. 1. batas berlakunya hukum batas berlakunya hukum pidana menurut pidana menurut waktu waktu (tijdsgebied) (tijdsgebied) 2. 2. batas berlakunya hukum batas berlakunya hukum pidana menurut pidana menurut tempat tempat dan dan orang orang
Asas-Asas Hukum PidanaDalam Hukum Pidana ada 2 dua syarat berlakunya hukum pidana yakni berdasarkan ruang/ tempat locus delicti dan berdasarkan waktu tempus delicti sebagaimana berikut di bawah ini Asas-asas Hukum Pidana menurut ruang / tempat locus delicti yaitu Asas Teritorial Wilayah; Asas Personalitas Nasional Aktif; Asas Perlindungan Nasional Pasif; Asas Universal. Asas - Asas Hukum Pidana menurut Ruang / Tempat Locus Delicti Asas Teritorial / Wilayah Sphere of Spece/Ground gebeid/RuimtegebeidAsas Teritorial Sphere of Spece/Ground gebeid/Ruimtegebeid merupakan asas yang menjelaskan bahwa barang siapa yang melakukan delik / perbuatan pidana di wilayah atau negara tempat berlakunya hukum pidana maka pembuat / pelaku tindak pidana akan tunduk pada aturan hukum pidana yang berlaku di wilayah tersebut dengan kata lain yang menjadi patokan pada asas ini adalah tempat atau wilayah terjadinya tindak pidana tanpa mempersoalkan pelaku tindak pidana. Hampir di setiap negara termasuk di Indonesia menerapkan asas tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 200813 yang menyatakan bahwa ketentuan pidana dalam peraturan perundang - undangan di Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Asas teritorialitas juga diatur di dalam ketentuan Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 200813 yang menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang - undangan pidana Indonesia juga berlaku bagi setiap orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI yang melakukan tindak pidana di dalam kapal atau pesawat udara milik Indonesia. Adapun tujuan dari ketentuan Pasal 3 tersebut adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam hal mengadili perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau wilayah udara bebas tidak termasuk wilayah territorial Indonesia. Wilayah Asas Teritorial Sphere of Spece/ Ground gebeid/ Ruimtegebeid meliputi wilayah daratan, wilayah laut dan wilayah udara sebagaimana wilayah berlakunya hukum pidana Indonesia yang mengikuti batas kedaulatan negara Indonesia, yakni dari Sabang sampai Merauke dan untuk batas lautnya meliputi seluruh wilayah perairan laut beserta perairan pedalaman negara Indonesia. Asas Teritorialitas dalam hubungannya dengan hukum internasional terbagi menjadi 2 dua macam, yaitu Asas yang menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang, perbuatan dan benda yang ada di wilayahnya; dan Asas yang menetapkan bahwa yurisdiksi negara tidak hanya berlaku bagi orang, perbuatan dan benda yang ada di wilayahnya, akan tetapi juga berlaku bagi orang, perbuatan dan benda yang terkait dengan negara tersebut baik yang ada maupun yang terjadi di luar wilayah negara tersebut. Adapun kewenangan Asas Teritorial dalam hukum internasional terbagi menjadi 2 dua kewenangan, yaitu Asas teritorial yang subyektif, yakni membenarkan kewenangan untuk melakukan penuntutan dan peradilan serta penjatuhan pidana atas perbuatan yang mulai dilakukan di wilayah teritorial negara yang bersangkutan, akan tetapi diselesaikan di negara lain; Asas Teritorial yang obyektif, yakni membenarkan kewenangan untuk melakukan penuntutan dan peradilan serta penjatuhan pidana atas tindak pidana yang dilakukan di luar batas teritorial suatu negara tetapi Perbuatan tersebut diselesaikan di negara yang memiliki yurisdiksi tersebut; atau Mengakibatkan dampak yang sangat merugikan kepentingan ekonomi, kesejahteraan warga negara yang bersangkutan. Adapun pengecualian asas teritorial berdasarkan Hukum Internasional yakni orang yang memiliki kekebalan atau hak immunitas atau exteritorialitet sebagaimana disebutkan di bawah ini, yaitu Kepala Negara Asing; Perwakilan Diplomatik dan Konsulat; Kapal Publik Negara Asing; Angkatan Bersenjata Asing Lembaga Internasional vide Pasal 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Asas Personalitas Nasional AktifAsas personalitas merupakan bagian dari asas personengebied yang melekat pada kewarganegaraan pembuat delik. Di Indonesia, asas ini juga diterapkan apabila Warga Negara Indonesia WNI melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana meskipun terjadi di luar negara Indonesia maka WNI tersebut dapat dikenakan Hukum Pidana Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 200814 yang menyatakan bahwa Ketentuan pidana dalam peraturan perundang - undangan negara Indonesia diterapkan bagi warga negara yang berada di luar Indonesia yang melakukan Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan ketentuan yang diatur pada Pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451; Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana diatur pada peraturan perundang - undangan negara Indonesia dipandang sebagai suatu kejahatan atau perbuatan tindak pidana, sedangkan menurut perundang - undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana. Perluasan Asas Nasionalitas aktif dapat dilihat dari Pasal 5 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang mengatur bahwa penuntutan terhadap suatu perbuatan sebagaimana ditentukan dalam ayat 1 huruf b juga dapat dilakukan apabila tersangka baru menjadi Warga Negara Indonesia WNI setelah melakukan perbuatan tersebut. Terkait Asas Personalitas juga diatur dalam Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 200814 yang menyatakan apabila pelaku kejahatan yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia sedangkan perbuatan pidana yang dilakukan Warga Negara Indonesia WNI di negara lain yang ketentuan hukumnya telah menghapus hukuman mati maka hukuman mati tidak dapat dikenakan pada pelaku kejahatan tersebut. Asas Perlindungan Nasional PasifAsas perlindungan merupakan pemberlakuan hukum terhadap siapa pun juga baik Warga Negara Indonesia WNI maupun Warga Negara Asing WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Asas ini mengutamakan keselamatan kepentingan suatu negara sebagaimana negara yang berdaulat wajib melindungi "Kepentingan Nasional" yang berarti dalam asas ini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual akan tetapi perlindungan terhadap kepentingan nasional atau kepentingan umum atas tindakan yang dianggap sangat merugikan kepentingan nasional. Adapun kepentingan nasional yang dimaksud, yakni Keselamatan Kepala Negara Presiden ataupun Perwakilan Negara; Keutuhan dan Keamanan Negara serta Pemerintah; Keamanan Penyerahan Barang; Keamanan Angkatan Perang pada Waktu Perang; Keamanan Martabat Kepala Negara Presiden; Keamanan Ideologi Negara Pancasila dan Haluan Negara; Keamanan Perekonomian; Keamanan Uang Negara seperti nilai - nilai dari surat - surat yang dikeluarkan negara; Keamanan Pelayaran dan Penerbangan terhadap Pembajakan. Adapun asas perlindungan tercantum dalam Pasal 4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP200813-14 yang menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang - undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukannya di luar Indonesia yang dalam hal ini terdiri dari Salah satu kejahatan yang ditentukan pada Pasal 104, 106, 107, dan 131 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP; Suatu kejahatan mengenai mata uang seperti uang kertas, materai dan merek yang dikeluarkan dan digunakan oleh Pemerintah Indonesia; Pemalsuan surat baik itu surat hutang, sertifikat hutang atas tanggungan negara termasuk tanggungan suatu daerah maupun bagian dari daerah, surat saham, tanda dividen ataupun tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat serta tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat; Salah satu kejahatan yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP tentang pembajakan laut, ketentuan pada Pasal 447 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan ketentuan pada Pasal 479 huruf j Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP mengenai penguasaan pembajakan pesawat udara secara melawan hukum serta ketentuan pada Pasal 479 huruf l, m, n, dan huruf o Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP mengenai kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Asas perlindungan juga tercantum dalam dalam Pasal 8 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP 200815 yang merupakan perluasan dari Pasal 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, hal mana pasal tersebut untuk melindungi kepentingan hukum Negara Indonesia di bidang perkapalan. Pasal 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP 200813 menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang - undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kapal atau pesawat udara Indonesia. Adapun Pasal 8 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP 200815 yang menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang - undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu yang berkewarganegaraan Indonesia yang berada di luar wilayah indonesia sekalipun berada di luar perahu melakukan salah satu kejahatan atau tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan pasal yang diatur pada Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia maupun juga dalam ordonansi perkapalan. Asas Universal Asas universal merupakan asas yang berlaku umum tanpa batas wilayah atau orang yang menyatakan setiap orang yang melakukan kejahatan atau perbuatan pidana dapat dituntut berdasarkan undang - undang atau hukum pidana di luar wilayah hukum negara untuk kepentingan hukum seluruh dunia, hal mana kejahatan tersebut dianggap kejahatan yang sangat berbahaya sehingga perlu dicegah dan diberantas. Dalam asas ini terkandung perlindungan terhadap kepentingan internasional, jadi bukan untuk kepentingan suatu negara. Asas - Asas Hukum Pidana berdasarkan Waktu Tempus DelictiMengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP 200813, hal mana waktu merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan waktu terjadinya tindak pidana. Dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP 200813 memiliki banyak makna sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo yang menyatakan bahwa Tidak ada delik atau tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya sebagaimana istilah yang dikenal dalam asas ini yaitu ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”. Adapun istilah lain yang juga sering digunakan dalam asas tersebut yaitu”Nullum crimen sine lege stricta" yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas. Istilah tersebut dikenal sebagai "Asas Legalitas", hal mana asas tersebut melindungi orang-orang dari tindakan sewenang-wenang pihak penguasa dalam mengadili pelaku tindak pidana, oleh sebab itu seseorang tidak dapat dihukum atau dipidana sebelum ada peraturan / undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu; Memiliki makna "lex temporis delicti" yang jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia yaitu undang-undang berlaku terhadap perbuatan pidana yang terjadi saat itu. Maksud makna tersebut yaitu bahwa seseorang harus diadili berdasarkan aturan yang berlaku saat perbuatan itu dilakukan, namun hal ini dapat dikesampingkan apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan dan sebelum perkara itu diadili sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP200813 yang menyatakan bahwa apabila ada perubahan dalam peraturan perundang - undangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Adapun contoh kasusnya yaitu mengenai penipuan yang hukuman maksimalnya 4 empat tahun Pasal 378 KUHP yakni Jika ada seseorang yang melakukan penipuan pada tanggal 6 Februari 2008 namun perkara tersebut masih dalam pemeriksaan awal, lalu kemudian pada tanggal 10 Maret 2008 aturan pidana maksimal mengenai penipuan diubah menjadi 6 enam tahun maka berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP tersebut, hakim harus menggunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa yakni aturan lama dengan ancaman pidana 4 empat tahun begitupun juga sebaliknya apabila aturan yang diubah mengalami perubahan penurunan ancaman hukuman maka aturan yang dipakai adalah aturan yang baru; Undang - undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut Non - Retroaktif.Maksud tidak berlaku surut yakni bahwa jika seseorang melakukan perbuatan tindak pidana pembunuhan namun tindak pidana pembunuhan belum diatur dalam undang-undang hukum pidana maka seseorang tersebut tidak boleh di pidana dan apabila suatu saat tindak pidana pembunuhan telah diatur dalam undang-undang hukum pidana, maka orang yang mencuri tadi tetap tidak boleh dihukum karena ketika ia melakukan pencurian, belum ada undang-undang yang mengaturnya. untuk penjelasan selengkapnya tentang Asas Non-Retroaktif silahkan baca disini Asas Non-Retroaktif. Sekian dan semoga Kasih.

1 Asas berlakunya hukum pidana menurut waktu ( asas legalitas) 2. Asas berlakunya Hukum Pidana menurut ruang tempat dan orang ( asas teritorialitas, asas nasionalitas pasif, asas nasionalitas aktif dan asas universal). 3) Sejarah Perkembangan Hukum Pidana Indonesia. 1. Sejarah H.Pidana pada Masa Kolon ial 2. Sejarah H.Pidana Pasca Kemerdekaan

Hukum digunakan sebagai dasar dan pedoman untuk mengukur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam segala aspek. Berdasarkan waktu berlakunya, hukum digolongkan ke dalam tiga jenis yaitu ius constitutum, isu constituendum, dan hukum digolongkan menjadi tiga jenis berdasarkan waktu berlakunya. Berdasarkan saat berlakunya, hukum terbagi menjadi Ius constitutum, Ius constituendum, dan hukum constitutum atau hukum positif merupakan kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini berlaku dan mengikat secara umum atau khusus, yang ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Ius constitutum meliputi beberapa unsur, yaitu1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat2. Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib3. Peraturan bersifat memaksa4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegasBaca JugaPelaksanaan Penjatuhan Pidana Masa PercobaanAdvokat Laporkan Ferdy Sambo ke KPK Hingga Kasus Pencurian Cokelat di AlfamartPerusahaan Berbadan Hukum dan Perusahaan Tidak Berbadan HukumHukum akan selalu melekat pada manusia yang bermasyarakat, dengan banyaknya peran hukum, maka Ius constitutum memiliki fungsi untuk menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang ini, Ius constitutum yang sedang berlaku di masyarakat adalah Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik golongan hukum yang kedua yaitu Ius constituendum yang merupakan hukum yang dicita-citakan dalam pergaulan hidup negara, tetapi belum dibentuk menjadi undang-undang atau ketentuan antara Ius constitutum dan Ius constituendum terletak pada waktunya, yaitu masa kini dan masa mendatang. Kalangan tertentu berpendapat bahwa setelah diundangkan maka Ius constituendum menjadi Ius constitutum. Jika Ius constitutum kini memiliki kekuatan hukum maka Ius constituendum mempunyai nilai sejarah.
A Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu 27 1. Asas Legalitas 27 2. Tujuan Asas Legalitas 28 3. Pengecualiaan Asas Legalitas 29 B. Asas Berlakunya Hukum Pidana Berdasarkan Tempat dan Waktu 30 1. Asas Teritorial 30 2. Asas Personalitas 30 3. Asas Perlindungan (Nasional Pasif) 31 . iv 4. Asas Universaliteit (Asas Persamaan) 33
Sertaberlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana. Dalamkaitannya dengan berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus), terdapat tiga asas pokok dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, yaitu : asas legalitas (nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali). Tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang
AsasUniversal. Ad. I. Asas Teritorial Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : "Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia".
Olehkarena itu dahulu Pasal 14 2 UUDS 1950 telah menyebutkan aturan ini, bahwa asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan di dalam KUHP hanya menggunakan kata- kata "perundangundangan" yang berarti bersifat asas legalitas formil tertulis. 19 19 Ibid Dengan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana tTfZ.
  • jmajbiq4l7.pages.dev/776
  • jmajbiq4l7.pages.dev/470
  • jmajbiq4l7.pages.dev/150
  • jmajbiq4l7.pages.dev/547
  • jmajbiq4l7.pages.dev/98
  • jmajbiq4l7.pages.dev/9
  • jmajbiq4l7.pages.dev/266
  • jmajbiq4l7.pages.dev/191
  • jmajbiq4l7.pages.dev/688
  • jmajbiq4l7.pages.dev/457
  • jmajbiq4l7.pages.dev/976
  • jmajbiq4l7.pages.dev/166
  • jmajbiq4l7.pages.dev/545
  • jmajbiq4l7.pages.dev/913
  • jmajbiq4l7.pages.dev/982
  • berlakunya hukum pidana menurut waktu